JATIMTIMES – Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kembali menuai sorotan publik. Kali ini, kritik datang dari Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, yang menyinggung kebijakan pendidikan di masa pandemi dan nasib guru honorer.
Menurut Iman kebijakan pengadaan Chromebook dan pelaksanaan Asesmen Nasional (AN) saat pandemi justru menyulitkan guru dan tidak berpihak pada kebutuhan di lapangan.
Baca Juga : Guru SMPN 22 Surabaya Wakili Indonesia di 4th International Conference on Education 2025 di Korea Selatan
“Mereka melakukannya ketika pandemik, memaksa guru menyelenggarakan AN, menembus PSBB, kelimpungan cari sinyal, demi apa?” tulis Iman dalam unggahannya di X.
Ia kemudian membandingkan anggaran pengadaan Chromebook dengan kondisi guru honorer di Indonesia. “Demi dalil kalau Chromebook itu bermanfaat. Uang 809 Miliar, kalau dibagi-bagi jadi insentif ke 700 ribu guru honorer, satu guru dapat 1,1 juta rupiah,” lanjutnya.
Iman juga secara tegas menyebut kebijakan tersebut sebagai pilihan yang keliru. “Tapi Nadiem dan Timnya memilih Chromebook dan menyelenggarakan AN. Inilah hasilnya,” tulisnya.
Pernyataan itu mencuat di tengah proses hukum dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook yang menyeret nama mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung menyebut Nadiem diduga memperkaya diri sendiri senilai Rp 809,5 miliar. Hal itu disampaikan jaksa saat membacakan surat dakwaan atas nama Sri Wahyuningsih, selaku Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek 2020–2021 sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (16/12/2025).
“Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu, terdakwa Nadiem Anwar Makarim sebesar Rp 809,5 miliar,” ujar salah satu jaksa dalam persidangan.
Jaksa mengungkapkan, Nadiem diduga menyalahgunakan kewenangannya dengan mengarahkan spesifikasi pengadaan laptop sehingga menjadikan Google sebagai satu-satunya penguasa ekosistem pendidikan di Indonesia.
“Bahwa terdakwa Nadiem Anwar Makarim yang telah menyalahgunakan dengan mengarahkan spesifikasi laptop Chromebook menggunakan Chrome Device Management (CDM)/Chrome Education Upgrade menjadikan Google satu-satunya yang menguasai ekosistem pendidikan di Indonesia,” kata jaksa.
Keuntungan pribadi yang diterima Nadiem disebut berasal dari investasi Google ke PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (AKAB) melalui PT Gojek Indonesia.
“Adapun sumber uang PT AKAB sebagian besar (merupakan) total investasi Google ke PT AKAB sebesar 786.999.428 dollar Amerika Serikat,” imbuh jaksa.
Baca Juga : Jelang Libur Nataru 2025/2026, Disparbud Malang Minta Pengelola Wisata Perketat Keamanan
Jaksa juga mengaitkan investasi tersebut dengan laporan harta kekayaan Nadiem. “Hal tersebut dapat dilihat dari kekayaan terdakwa Nadiem Anwar Makarim yang tercatat dalam LHKPN pada tahun 2022 perolehan harta jenis surat berharga sebesar Rp 5.590.317.273.184,” lanjut jaksa.
Dalam dakwaan, jaksa merinci aliran investasi Google yang terjadi saat proses pengadaan berlangsung. Salah satunya pada Maret 2020, ketika Nadiem mengarahkan penggunaan Google Workspace for Education di Kemendikbud RI melalui grup WhatsApp bernama “Merdeka Platform”.
“Kemudian pada bulan Maret 2020, Google Asia Pasifik Pte Ltd juga melakukan investasi berupa penyetoran modal uang ke PT AKAB sebesar 59.997.267 dollar Amerika Serikat,” kata jaksa.
Pada 2021, Google kembali menambah investasi sebesar 276.843.141 dollar Amerika Serikat, setelah Nadiem meneken peraturan yang menjadikan Google sebagai satu-satunya produk dalam pengadaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Jaksa menyebut ekosistem pendidikan Indonesia berpotensi menjangkau sekitar 50 juta pengguna, sehingga kebijakan tersebut dinilai berdampak luas. Dalam perkara ini, JPU mendakwa Nadiem dan tiga terdakwa lain telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2,1 triliun.
Selain Nadiem, terdakwa lain dalam perkara ini yakni eks konsultan teknologi Kemendikbudristek Ibrahim Arief, Direktur SMP Kemendikbudristek 2020–2021 Mulyatsyah, serta Direktur SD Kemendikbudristek 2020–2021 Sri Wahyuningsih. Sementara satu tersangka lain, Jurist Tan, hingga kini masih buron dan berkas perkaranya belum dilimpahkan.
Para terdakwa dijerat Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
