Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Serba Serbi

Pangeran Balitar dan Jejak Politik Madiun pada Era Trunojoyo–Surapati (1645–1704)

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

13 - Sep - 2025, 15:29

Placeholder
Lukisan realis Raden Trunojoyo di tengah pertempuran, dengan latar desa yang dilalap api. (Foto: created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah Jawa abad ke-17 hingga awal abad ke-18 ditandai oleh pergeseran kekuasaan, perang saudara, dan intervensi kolonial yang semakin mengakar. Di balik narasi besar tentang Sultan Agung, Amangkurat I, Trunojoyo, dan Untung Surapati, terdapat jejak politik daerah yang tak kalah penting. 

Salah satunya adalah Madiun, sebuah wilayah strategis di jantung Jawa yang pada masa itu dipimpin oleh trah Balitar. Dalam kurun antara 1645 hingga 1704, Madiun memainkan peran yang tidak selalu eksplisit tercatat dalam sumber kolonial, tetapi dapat ditangkap melalui jejak genealogis, perlawanan militer, dan keberpihakan ideologisnya. 

Baca Juga : Terungkap Alasan Tembak Charlie Kirk, Pelaku Robinson Ditahan usai 33 Jam Pelarian

Tokoh kunci dalam periode ini adalah Pangeran Balitar (1645–1677) dan penerusnya Pangeran Balitar Tumapel (1677–1703), yang bersama-sama mengarahkan orientasi politik Madiun dalam menghadapi badai Trunojoyo dan Surapati.

Tulisan ini berusaha menelusuri kronologi dan makna politik Madiun sepanjang era tersebut. Pendekatan historiografi kritis dipakai untuk membaca ulang sumber-sumber lokal maupun kolonial, agar jejak Madiun tidak hilang di balik narasi besar kekuasaan Kartasura dan VOC. Lebih jauh, artikel ini menunjukkan bagaimana ideologi, spiritualitas, dan dendam sejarah membentuk orientasi politik Madiun, dari loyalitas kepada pusat hingga keberanian menentang hegemoni asing.

Dari Martalaya ke Balitar: Politik Madiun Pasca-Sultan Agung (1645–1677)

Makan kuncen

Wafatnya Tumenggung Martalaya pada 1645 menandai awal periode baru bagi Madiun. Kepemimpinan beralih kepada Pangeran Balitar, putra Panembahan Juminah sekaligus kakak dari Martalaya. Peralihan ini terjadi hampir bersamaan dengan wafatnya Sultan Agung pada 1646 yang kemudian digantikan oleh putranya, Amangkurat I yang memerintah dari 1646 hingga 1677. Pergantian ganda baik di pusat maupun di daerah menciptakan suasana politik yang penuh ketidakpastian.Wafatnya Tumenggung Martalaya pada 1645 menandai awal periode baru bagi Madiun. Kepemimpinan kemudian beralih kepada Pangeran Balitar, putra Panembahan Juminah sekaligus kakak dari Martalaya. Panembahan Juminah sendiri, bersama Martalaya dan Pangeran Pringgalaya (Bupati Madiun 1595–1601), merupakan putra kandung Panembahan Senapati dengan Ratu Retno Dumilah, penguasa perempuan Madiun. Peralihan kepemimpinan di Madiun ini terjadi hampir bersamaan dengan wafatnya Sultan Agung pada 1646 yang digantikan oleh putranya, Amangkurat I (1646–1677). Pergantian ganda, baik di pusat maupun di daerah, menciptakan suasana politik yang penuh ketidakpastian.

Madiun pada masa Sultan Agung dikenal sebagai salah satu pilar militer Mataram untuk mengendalikan daerah Brang Wetan (Jawa Timur). Pasukan Madiun kerap dikerahkan dalam ekspedisi ke Blambangan maupun melawan pemberontakan pesisir. Namun, ketika memasuki era Amangkurat I, peran militer Madiun tidak lagi menonjol dalam catatan resmi. Hal ini tidak berarti bahwa Madiun pasif; justru ada indikasi bahwa para pemimpinnya memilih strategi politik yang lebih berhitung, menimbang antara loyalitas pada Mataram dan simpati kepada kekuatan pemberontak yang muncul.

Situasi semakin rumit ketika Amangkurat I mulai kehilangan legitimasi akibat kebijakannya yang otoriter, penindasan bangsawan, serta hubungan mesra dengan VOC. Ketidakpuasan yang menumpuk melahirkan koalisi perlawanan yang kelak dipimpin oleh Raden Trunojoyo dari Madura.

Pemberontakan Trunojoyo dan Pilihan Politik Madiun (1676–1679)

Trunojoyo adalah bangsawan Madura cucu Cakraningrat I. Ia menjalin aliansi dengan Raden Mas Rahmat (Pangeran Adipati Anom), putra mahkota yang kecewa pada ayahnya Amangkurat I, serta dengan Raden Kajoran, seorang ulama berdarah Wali Songo, keturunan Sunan Tembayat dan Batoro Katong. Dukungan juga datang dari sisa-sisa pasukan Gowa di bawah pimpinan Karaeng Galesong. Dengan jaringan ini, Trunojoyo berhasil membangun kekuatan militer lintas etnis, mencakup Madura, Makassar, dan Jawa pesisir, yang menjadi momok bagi pusat Mataram.

Pada 1676, pasukan Trunojoyo berhasil menguasai sebagian besar wilayah Mataram. Klimaksnya adalah serangan ke Plered pada Juli 1677. Ibukota jatuh, Amangkurat I melarikan diri ke barat dan wafat di Tegalwangi, dikenang sebagai Sunan Tegal Arum. Tahta kemudian diwariskan kepada Pangeran Adipati Anom, yang dilantik VOC sebagai Amangkurat II (1677–1703).

Dalam pusaran konflik ini, posisi Madiun tidak banyak tercatat. Namun terdapat indikasi kuat bahwa Pangeran Balitar bersikap ambigu. Di satu sisi ia masih berada dalam orbit Mataram, tetapi di sisi lain ia membiarkan Trunojoyo bertahan di Brang Wetan tanpa gangguan berarti. Fakta bahwa Trunojoyo memilih Kediri, wilayah yang berdekatan dengan Madiun, sebagai basis pertahanan terakhirnya menunjukkan adanya simpati atau paling tidak sikap nonkonfrontatif dari pihak Madiun.

Amangkurat II, setelah naik tahta dengan dukungan VOC, berusaha memulihkan kekuasaan. Pada November 1678, ia bersama pasukan gabungan yang terdiri atas serdadu VOC di bawah komando Kapten Tack, pasukan Ambon pimpinan Kapten Jonker, dan pasukan Bugis yang dipimpin Arung Palaka, melakukan penyerbuan ke Kediri. Pertempuran berakhir pada 1679 dengan kekalahan Trunojoyo, yang kemudian ditangkap di lereng Gunung Kelud dan dieksekusi secara brutal.

Sikap Madiun dalam periode ini mencerminkan dilema bangsawan daerah: antara tunduk pada Mataram yang bersekutu dengan Belanda, atau membiarkan kekuatan alternatif seperti Trunojoyo yang mengusung agenda anti-VOC. Dalam kacamata historiografi kritis, pilihan ambigu ini bukanlah kelemahan, melainkan strategi bertahan menghadapi perubahan konstelasi kekuasaan.

Trunojoyo

Balitar Tumapel dan Era Surapati (1677–1703)

Wafatnya Pangeran Balitar pada 1677 digantikan oleh putranya, Pangeran Balitar Tumapel, yang memerintah hingga 1703. Masa kepemimpinannya bertepatan dengan babak baru sejarah Jawa, ditandai dengan kemunculan Untung Surapati, mantan budak yang menjelma menjadi panglima perlawanan anti-VOC.

Surapati adalah seorang budak Bali yang dijual ke Batavia, kemudian melarikan diri dan memimpin pemberontakan budak di Batavia tahun 1684. Setelah peristiwa itu, ia melarikan diri ke Mataram sambil mengawal Ratu Gusik Kusuma, istri Pangeran Purbaya. Di Kartasura, ia justru mendapat perlindungan dari Amangkurat II, meskipun hal ini membuat VOC curiga.

Pada Februari 1686 terjadi insiden besar: Kapten François Tack, utusan VOC, tewas dibunuh oleh pasukan Surapati di halaman istana Kartasura. Peristiwa ini memicu konfrontasi terbuka antara Surapati dan VOC, dengan Mataram berada dalam posisi serba salah.

Dalam konflik ini, Madiun memilih berpihak pada Surapati. Sikap tersebut terlihat dari berbagai catatan mengenai pasukan Madiun yang menghadang tentara VOC ketika mengejar Surapati ke timur. Beberapa senopati Madiun tercatat bergabung dengan Surapati, antara lain Sindurejo, yang kemudian menetap di Ponorogo, dan Singoyudo, yang kelak menjadi cikal bakal Desa Candi di Sawahan. Pertempuran di wilayah Madiun menelan korban besar di pihak VOC, menunjukkan bahwa dukungan lokal terhadap Surapati tidak bisa diremehkan.

Keberpihakan Madiun pada Surapati tidak hanya didorong oleh kepentingan politik jangka pendek, melainkan juga oleh ideologi. Surapati dipandang sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial. Bagi para bangsawan dan prajurit Madiun, bersekutu dengan Surapati berarti menjaga marwah kemandirian Jawa dari intervensi asing. Ada pula dimensi spiritual: Surapati sering digambarkan dalam tradisi lisan sebagai sosok yang diberi “wahyu” perlawanan, sementara VOC dilihat sebagai kekuatan adigang-adigung-adiguna yang bertentangan dengan tatanan kosmis Jawa.

Untung surapati

Madiun Pasca-Amangkurat II (1703–1704)

Baca Juga : Siwon Super Junior Tuai Kritik hingga Trending di X usai Unggah Belasungkawa untuk Charlie Kirk

Dalam Perang Suksesi Jawa pertama, yang pecah setelah wafatnya Amangkurat II pada 1703, Madiun secara tegas berpihak kepada Pangeran Puger. Sikap ini ditentukan oleh ikatan perkawinan politik antara Puger dengan putri sulung Bupati Madiun Balitar Tumapel. Dari perkawinan tersebut lahir Pangeran Arya Blitar, tokoh penting yang kelak menjadi ujung tombak kemenangan Puger atas Amangkurat III. Dukungan Madiun menjadikan posisi Puger semakin kuat hingga akhirnya ia naik tahta sebagai Pakubuwana I.

Konteks ini penting, karena jarang sekali seorang perempuan bangsawan muncul sebagai figur pengambil keputusan politik militer pada abad ke-17. 

Di tengah pusaran Perang Suksesi Jawa pertama, lahir seorang pangeran muda yang kelak dikenal dengan nama Pangeran Arya Blitar. Ia bukan adipati di daerah Blitar, melainkan Raden Mas Sudomo, putra Susuhunan Pakubuwana I dengan Ratu Mas Blitar, putri Bupati Madiun Balitar Tumapel. Dari garis ibunya, ia mewarisi gelar kebangsawanan “Blitar”, gelar turun-temurun dari trah Panembahan Juminah, putra Panembahan Senapati dengan Retno Dumilah, Ratu Madiun. Dengan demikian, Arya Blitar tampil sebagai representasi dua garis trah besar, yakni Pakubuwanan Kartasura dan kepangeranan Madiun.

Setelah Amangkurat III kalah dan terdesak ke Blitar, legitimasi Pakubuwana I belum sepenuhnya aman. Masih ada sisa kekuatan loyalis lawan, terutama di Malang dan Pasuruan, yang menjadi ancaman serius. Dalam situasi ini, Arya Blitar tampil sebagai ujung tombak militer ayahandanya. Ia diberi tugas menjemput pusaka pusaka kerajaan yang masih berada di tangan Amangkurat III, yaitu tombak Kyai Baru, keris Kyai Belabar, dan Kyai Gondil, sekaligus menumpas sisa pengaruh politik lawan di Jawa Timur.

Misi itu dijalankan dengan ketegasan keras. Arya Blitar memburu dan mengeksekusi Arya Pulangjiwa, bekas pejabat tinggi Amangkurat III yang pernah menyandang gelar “Arya Blitar” sebelum digantikan oleh Sudomo. Eksekusi di hutan Pasuruan itu adalah simbol bahwa gelar kebangsawanan “Blitar” hanya sah berada di tangan putra Pakubuwana I. Setelah itu, operasi besar-besaran dilancarkan di Malang dan Pasuruan: barisan Adipati Wiranagara dihancurkan, rumah-rumah loyalis dibakar, dan tokoh-tokoh penting seperti Wiraguna, Mandurareja, Arya Tiron, serta Mangunagara ditawan.

Laporan kemenangan disampaikan langsung kepada Pakubuwana I. Sang raja memuji keberanian putranya, meskipun tetap menegaskan bahwa pusaka tidak lebih penting dari legitimasi spiritual Mataram yang bertumpu pada Kadilangu dan Masjid Demak. Dari sini terlihat, Arya Blitar tidak hanya menjadi komandan militer, melainkan juga simbol pemulihan martabat politik Kartasura pasca perang saudara.

PB I

Secara keseluruhan, periode 1645–1704 menunjukkan bahwa Madiun bukan sekadar wilayah pinggiran dalam sejarah Jawa, melainkan aktor politik yang mampu menavigasi konstelasi kekuasaan yang kompleks. Dari kepemimpinan Pangeran Balitar hingga era Balitar Tumapel, Madiun menampilkan strategi bertahan yang cermat, kadang ambigu, namun selalu mengutamakan kelangsungan marwah lokal dan kemandirian politik. Dukungan terhadap Trunojoyo maupun Surapati mencerminkan orientasi pragmatis dan ideologis, sementara keterlibatan dalam Perang Suksesi Jawa pertama mempertegas posisi Madiun sebagai penentu keseimbangan kekuasaan di Jawa Timur.

Jejak sejarah ini menegaskan bahwa memahami dinamika politik daerah seperti Madiun adalah kunci untuk membaca keseluruhan narasi Jawa abad ke-17 hingga awal abad ke-18, di mana loyalitas, dendam, dan spiritualitas politik saling bersilangan membentuk wajah kerajaan yang tidak hanya dipengaruhi oleh pusat, tetapi juga oleh elite lokal yang tangguh.

Jejak politik Madiun mengajarkan bahwa di balik perang, loyalitas, dan intrik tersimpan kisah simbol dan legitimasi yang menarik untuk ditelusuri. Salah satunya adalah gelar Arya Blitar, yang bukan sekadar penanda status bangsawan, tetapi jendela untuk memahami strategi politik Panembahan Senapati dan jaringan kekuasaan Mataram–Madiun.

Gelar Pangeran Arya Blitar untuk Dinasti Mataram–Madiun: Politik Simbolik Panembahan Senapati

Juminah

Pergantian abad ke-16 ke-17 menandai transformasi besar di Jawa. Kerajaan pesisir seperti Demak, Jepara, dan Surabaya mulai meredup, sementara Mataram di pedalaman muncul sebagai kekuatan baru. Di tengah pergeseran ini, simbol politik berupa gelar bangsawan, penamaan daerah, dan penempatan makam bukan sekadar formalitas, melainkan instrumen legitimasi. Panembahan Senapati (1584–1601) memahami hal itu dengan baik. Ia membangun legitimasi melalui simbol dan narasi sejarah, menata gelar bangsawan dengan cermat untuk menegaskan klaim Mataram atas wilayah timur Jawa.

Salah satu gelar simbolik utama adalah Balitar atau Blitar, yang kelak disandang oleh Panembahan Juminah, putra Panembahan Senapati dari permaisuri kedua, Raden Ayu Retno Dumilah, putri sulung Panembahan Timur, Adipati Madiun I. Pernikahan ini menyatukan garis darah Mataram dan Madiun, sekaligus menghubungkan dua pusat kekuasaan penting di pedalaman. Raden Mas Bagus, menerima gelar Pangeran Adipati Juminah dan diangkat menjadi Bupati Madiun pada 1601 hingga 1613 setelah wafatnya kakaknya, Raden Adipati Pringgalaya. Dengan posisi ini, ia memperkuat integrasi politik sekaligus legitimasi Mataram di wilayah timur.

Dari pernikahannya dengan Ratu Mas Hadi, janda Panembahan Hanyakrawati dan ibu Sultan Agung, Panembahan Juminah memiliki empat anak: Raden Ayu Djurumayem, yang menikah dengan Panembahan Jurumayem; Pangeran Adipati Balitar II, Bupati Madiun 1645–1677; Raden Haryo Suroloyo, tokoh administratif-militer; dan Raden Ayu Kajoran, yang menikah dengan Pangeran Kajoran. Dari Balitar II lahir Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel III (Bupati Madiun 1677–1703), yang menurunkan Pangeran Arya Balitar IV (Bupati Madiun 1704–1709). Dari garis Arya Balitar IV lahirlah Kanjeng Ratu Mas Blitar, permaisuri Sunan Pakubuwana I. Pernikahan ini menghasilkan tiga putra: Sunan Amangkurat IV, Pangeran Adipati Purbaya, dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Blitar, yang menjadi tokoh kunci perlawanan anti-VOC.

Ayah Ratu Mas Blitar adalah Pangeran Balitar Tumapel, yang dimakamkan di kompleks makam kuno Kuncen, Kota Madiun.Dari keturunan Ratu Mas Blitar lahir empat pusat kekuasaan Mataram: Keraton Surakarta (Sunan Pakubuwana II), Keraton Yogyakarta (Sultan Hamengkubuwana I melalui Pangeran Mangkubumi), Puro Mangkunegaran (Raden Mas Said, alias Sambernyawa, cucu Arya Blitar dan Arya Mangkunegara), serta Puro Pakualaman (melalui Pangeran Joyokusumo, putra Hamengkubuwana I). Keempat pusat ini menandai integrasi simbolik dan politik antara garis darah Madiun dan Mataram. Gelar Blitar, menjadi penanda legitimasi politik, simbol keterhubungan genealogis, dan sarana untuk menegaskan klaim Mataram atas wilayah timur Jawa.

Pangeran Arya Blitar sendiri tidak pernah memerintah Blitar. Ia muncul sebagai penguasa tandingan setelah runtuhnya Kartasura, membangun basis di Kartasekar (Bantul) pada awal abad ke-18. Dengan dukungan tokoh seperti Arya Dipanagara dan Panji Surengrana, ia menyatukan kekuatan militer, legitimasi darah, dan dukungan spiritual untuk menentang VOC. Kartasekar jatuh pada 1721, memaksa Arya Blitar mundur ke Lumajang, namun jejak simbolik dan genealogisnya tetap hidup, terutama melalui Raden Mas Said, pendiri Mangkunegaran.

Panembahan Juminah

Gelar Blitar pada trah Juminah adalah lebih dari penanda geografis. Ia menegaskan klaim politik Senapati, mengintegrasikan bangsawan Madiun ke dalam struktur Mataram, dan menjadi pelindung politik bagi pemegangnya. Dalam perspektif historiografi kritis, strategi simbolik ini menunjukkan bahwa legitimasi di Jawa abad ke-17–18 dibangun dari perpaduan darah, simbol, dan dukungan spiritual, bukan sekadar kekuasaan administratif.

Pangeran Arya Blitar menjadi bukti bagaimana gelar simbolik dapat memengaruhi politik, perlawanan rakyat, dan jaringan kekuasaan. Ia menegaskan bahwa dalam dinamika Mataram pasca-Pajang, legitimasi dan identitas darah seringkali lebih menentukan daripada jabatan formal. Runtuhnya Kartasekar hanyalah kekalahan militer; secara ideologis, Arya Blitar tetap menjadi simbol ketahanan trah Mataram–Madiun yang menolak tunduk pada hegemoni VOC.


Topik

Serba Serbi Pangeran Balitar Madiun Trunojoyo Surapati (1645–1704)



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Sampang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy