JATIMTIMES - Berangkat dari rutinitas kerja yang monoton dan jenjang karier yang tak kunjung naik, Putut Trihasto pada 2002 memilih langkah berani: keluar dari posisinya sebagai supervisor di sebuah pusat perbelanjaan besar. Keputusan itu membuka jalan lahirnya usaha UMKM “Kacangku”, usaha kacang olahan yang kini sudah bertahan hampir 20 tahun.
Putut mengisahkan, ia sempat menghabiskan lebih dari tujuh tahun di dunia ritel modern, bahkan sempat berpindah tugas ke Jember selama setahun sebelum akhirnya kembali ke Malang. Namun, jalannya karier terasa stagnan. “Di perusahaan itu, kenaikan jabatan lama sekali. Kadang baru naik setelah tiga sampai lima tahun, dan itu pun kenaikannya cuma sekitar 10 persen,” ungkapnya, saat diwawancarai Kamis, (11/9/2025).

Tekanan target penjualan, ritme kerja yang penuh tuntutan, hingga politik kantor membuatnya berpikir ulang. Dengan modal terbatas, ia nekat merintis usaha camilan sendiri pada 2005. Usaha yang ia rintis adalah camilan kacang dengan brand Kacangku.
Baca Juga : PPG Guru Tertentu 2025 Dibuka, Ini Tahapan dan Jadwal Lengkapnya
Dalam proses produksi, ia mengolah sendiri kacang dan belajar secara otodidak. “Saya hitung sederhana saja. Kalau gaji saya segini, berarti saya butuh sekian toko untuk menutupinya. Begitu dapat jumlah itu, ya saya resign,” ujarnya.
Awalnya, Putut hanya menitipkan produknya di lima toko. Perlahan tapi pasti, jaringan “Kacangku” meluas hingga kini tembus sekitar 200 titik, tersebar dari Pakis, Tunggulwulung, Lawang, hingga kawasan Gadang. Produknya digemari karena fleksibel, bisa dinikmati semua kalangan, dari anak kecil hingga orang tua.
“Alhamdulillah, pelanggan bilang bukan soal enak tidaknya, tapi karena rasanya khas, gurih, bikin nagih. Itu yang bikin mereka balik lagi,” ungkapnya.
Setiap hari, rata-rata 30 toples produk keluar dari dapurnya. Jika dihitung kasar, satu toples berisi 24 bungkus, maka bisa mencapai sekitar 600 bungkus per hari. Walau ada retur dari toko, omzet hariannya tetap stabil.
Menurut Putut, salah satu alasan ia mantap bertahan adalah karena bisnis makanan ringan punya perputaran uang cepat. “Kalau modal 100, dalam satu-dua bulan bisa balik sampai 500. Cepat sekali dibanding gaji bulanan yang naiknya cuma receh,” jelasnya.
Kini, penghasilannya sudah jauh melampaui gaji terakhirnya di pusat perbelanjaan, yang kala itu sekitar Rp3,5 juta per bulan. Dari “Kacangku”, ia bisa meraup hingga empat kali lipat lebih.
Baca Juga : Raja Mahmud dan Anak Miskin: Cerita Sufi yang Sarat Makna Kehidupan
Meski demikian, ia tak menampik bahwa keputusannya dulu sempat ditentang keluarga. “Istri awalnya takut. Biasanya orang memang lebih memilih zona nyaman. Dari 20 teman seangkatan saya, hanya tiga orang yang bertahan sampai pensiun di perusahaan. Sisanya memilih jalannya masing-masing,” kenangnya.
“Kacangku” kini sudah berjalan hampir 20 tahun. Bagi Putut, kunci bertahan bukan hanya soal rasa, tetapi juga kesabaran dalam merawat pelanggan dan menjaga konsistensi produk. “Sedikit demi sedikit, asal telaten, akhirnya bisa sampai sejauh ini,” katanya.
Ia juga berpesan kepada generasi muda agar tidak gengsi memulai usaha dari bawah. “Anak muda sekarang kadang gengsi kalau usahanya kecil. Padahal dari yang receh-receh inilah kita bisa dapat return cepat dan lebih signifikan,” ujarnya.
Dengan 200 toko lebih dan pasar yang terus bertumbuh, “Kacangku” membuktikan bahwa keberanian mengambil risiko, meski dengan modal minim, bisa membuka jalan panjang menuju kesuksesan.